TINJAUAN BUKU
Menguak Wajah Buruk Kekuasaan Lewat Fiksi: Sebuah Tinjauan terhadap “Korupsi dan Oligarki”
Korupsi adalah penyakit kronis yang menggerogoti fondasi negara. Namun ketika korupsi bersatu dengan oligarki—penguasaan sumber daya dan kebijakan oleh segelintir elite—yang terjadi bukan hanya pencurian uang rakyat, melainkan pembajakan seluruh sistem demokrasi. Inilah inti narasi yang disuguhkan Hadi Hartono dalam novelnya yang provokatif: Korupsi dan Oligarki.
Melalui medium fiksi, Hadi menyajikan kenyataan yang terlalu pahit jika dibicarakan dalam seminar atau berita harian. Ia memilih jalan yang lebih subversif: membuat pembaca merenung, bukan dengan teori, melainkan dengan cerita yang menelusup langsung ke relung emosi.
Narasi Investigatif yang Dekat dengan Kenyataan
Tokoh utama, Ardi Wijaya, adalah jurnalis investigatif yang terjerumus ke dalam pusaran konspirasi kekuasaan ketika ia mengungkap skandal korupsi raksasa dalam sektor energi nasional. Alur cerita yang dibangun terasa autentik—seperti reportase panjang yang dibalut sastra. Hadi tampaknya memanfaatkan kedekatannya dengan dunia media untuk menyusun peristiwa-peristiwa yang begitu mungkin terjadi, meskipun bersifat fiktif.
Namun ini bukan semata-mata kisah detektif korupsi. Ini adalah kronik pengkhianatan, idealisme yang diuji, dan harapan yang berkali-kali dihempaskan. Ardi bukan satu-satunya pejuang. Ada Sinta, Rara, Farid—tokoh-tokoh yang membawa warna dan dimensi tersendiri, menjadikan narasi ini bukan hanya tentang satu orang melawan sistem, melainkan tentang jejaring perlawanan yang tumbuh secara organik.
Politik, Cinta, dan Luka yang Tak Sembuh
Yang menarik, Hadi tidak menanggalkan sisi humanistik dari karakter-karakternya. Di tengah intrik dan ancaman, masih ada ruang untuk cinta yang getir, persahabatan yang diuji, dan trauma masa lalu yang membentuk keputusan-keputusan besar. Hubungan Ardi dan Sinta, misalnya, menggambarkan bagaimana kehidupan personal tidak bisa benar-benar terlepas dari tarik-ulur kepentingan publik dan ideologis.
Alih-alih menghadirkan tokoh-tokoh suci, Hadi memilih menggambarkan karakter-karakter yang terluka dan rentan—persis seperti realitas politik itu sendiri: kompleks, abu-abu, dan sering kali tragis.
Gaya Bahasa dan Struktur: Kombinasi Jurnalistik dan Sastra
Diksi dalam Korupsi dan Oligarki tegas dan efektif, terkadang puitis, namun sering terasa seperti kutipan editorial yang tajam. Gaya bertuturnya menunjukkan latar penulis yang akrab dengan dunia berita dan advokasi publik. Bab-babnya pendek namun padat, dengan ritme yang meningkat secara bertahap hingga mencapai puncak ketegangan yang nyaris sinematik di bab-bab terakhir.
Meskipun demikian, dalam beberapa bagian, pembaca awam mungkin merasa disuguhi terlalu banyak terminologi hukum atau ekonomi politik. Ini bisa menjadi tantangan, tapi juga sekaligus pendidikan politik terselubung bagi yang bertahan membaca hingga akhir.
Mengapa Novel Ini Penting?
Novel ini penting bukan karena ia menjawab semua persoalan bangsa, tetapi karena ia menyuarakan keresahan yang banyak orang enggan ungkapkan secara terang-terangan. Ia penting karena di saat narasi-narasi besar dikendalikan oleh media yang dikooptasi, sastra justru menjadi ruang otonom yang menyampaikan kebenaran dengan cara yang tak terduga.
Korupsi dan Oligarki tidak menawarkan solusi instan. Ia tidak menjanjikan akhir bahagia. Yang ditawarkan adalah perlawanan yang terus-menerus. Bahkan ketika tokoh utamanya menolak jabatan formal, itu bukan bentuk kepasifan, tapi pernyataan sikap: bahwa penjaga kebenaran sejati tak butuh kekuasaan, hanya butuh keberanian untuk terus bersuara.
Kesimpulan:
Sebagai karya sastra politik, Korupsi dan Oligarki adalah bentuk perlawanan yang halus tapi menggigit. Ia menggambarkan bagaimana demokrasi bisa diretas oleh elite, tapi juga menunjukkan bahwa kekuatan rakyat, meski sering diremehkan, bisa menjadi badai yang meruntuhkan tembok kekuasaan.
Novel ini layak dibaca oleh mereka yang masih peduli pada negeri ini, oleh mereka yang ingin memahami sistem dengan lebih dalam, dan oleh siapa pun yang percaya bahwa kata-kata bisa menjadi senjata melawan penindasan.
Rekomendasi:
Buku ini bukan sekadar fiksi, melainkan bentuk protes sastra. Bacalah. Renungkan. Lanjutkan perlawanan dengan caramu sendiri.
Rating: ★★★★★ (5/5)
0 Komentar