Resensi Novel Korupsi dan Oligarki

 RESENSI NOVEL

KORUPSI DAN OLIGARKI
Karya: Hadi Hartono



Oleh: Tanaya Fathiah


I. Pendahuluan: Ketika Fiksi Menyuarakan Realitas

Novel Korupsi dan Oligarki hadir dalam lanskap sastra Indonesia yang semakin berani menyentuh isu-isu struktural kekuasaan. Karya Hadi Hartono ini bukan sekadar fiksi politik, melainkan cermin tajam terhadap bagaimana kekuasaan diselenggarakan, diselewengkan, dan dilanggengkan oleh elite yang memanfaatkan celah hukum dan politik. Dalam 30 bab yang padat dan sarat konflik, pembaca diajak menelusuri labirin kekuasaan melalui mata seorang jurnalis bernama Ardi Wijaya—tokoh utama yang tidak hanya idealis, tetapi juga manusiawi dan terikat oleh luka masa lalu.

Novel ini menantang pembaca untuk bertanya: apakah negara ini benar-benar dipimpin oleh kehendak rakyat? Atau telah lama disandera oleh oligarki yang berkamuflase dalam narasi pembangunan dan stabilitas? Di sinilah Korupsi dan Oligarki menemukan relevansi dan kekuatannya—menyampaikan realitas dalam balutan fiksi, menggugah tanpa harus menggurui.



II. Alur dan Struktur: Sebuah Jebakan Sunyi yang Meledak

Cerita bermula secara perlahan, dalam suasana kelam khas novel noir: seorang jurnalis menemukan amplop misterius yang mengandung dokumen transaksi keuangan gelap. Dari sinilah benang merah cerita ditarik: sebuah konspirasi besar yang melibatkan korporasi tambang, aparat negara, kementerian energi, hingga jaringan politik militer.

Alur disusun secara linier, namun sering diberi sisipan kilas balik yang memperdalam latar psikologis tokoh. Setiap bab membawa perkembangan krusial—baik secara personal maupun politis. Misalnya, konflik batin Ardi saat kembali bertemu Sinta, mantan kekasihnya yang kini menjadi humas istana, bukan sekadar bumbu romantik, melainkan refleksi dari kompleksitas hubungan manusia dalam medan politik yang cair.

Titik klimaks terjadi saat Ardi hampir terbunuh dalam sebuah "kecelakaan" yang diskenariokan. Namun, sebagaimana yang ditanamkan novel ini sejak awal, perjuangan tidak berhenti pada satu figur. Dari titik inilah perlawanan rakyat mulai terorganisir, menggulingkan kekuasaan lama dengan gelombang sipil yang kuat.



III. Tokoh dan Representasi Sosial

Ardi Wijaya: Representasi Nurani Jurnalisme

Sebagai tokoh utama, Ardi adalah jembatan antara dunia kebenaran dan bahaya. Ia jurnalis yang terluka, bukan karena kehilangan cinta, tetapi karena dikhianati oleh institusi yang semestinya menjaga nurani publik. Ia bukan pahlawan tanpa cacat, tapi justru karakternya menjadi hidup karena kontradiksi dan ketegangan yang ia hadapi—antara integritas dan keselamatan diri, antara cinta dan tanggung jawab publik.

Sinta, Rara, dan Farid: Pilar Narasi Kolektif

Sinta, Rara, dan Farid menjadi penguat bahwa perlawanan terhadap sistem tak bisa dilakukan seorang diri. Ketiganya melambangkan keberagaman strategi: advokasi hukum, kekuatan data, dan pendekatan politik. Mereka adalah wajah-wajah masyarakat sipil yang bersatu melawan hegemoni kekuasaan.

Rendra Wibisono dan Oligarki Tak Bernama

Rendra Wibisono sebagai antagonis adalah prototipe oligark: tenang, sistemik, dan hampir tak tersentuh. Ia tak dibangun sebagai monster satu dimensi, tetapi sebagai produk zaman—hasil kawin silang antara kapitalisme rakus dan negara yang lemah. Di belakangnya, ada lebih banyak oligark yang “tidak disebut” namun terasa keberadaannya. Inilah kekuatan simbolik dari novel ini: mengajak pembaca membaca yang tersirat, bukan hanya yang tersurat.



IV. Tema dan Simbolisme: Oligarki Sebagai Narasi yang Dihapus

Tema besar novel ini jelas: bagaimana oligarki bekerja di balik layar kekuasaan. Namun Hadi Hartono tidak menyampaikannya secara hitam-putih. Ia membiarkan pembaca menyusun sendiri potongan-potongan puzzle: dari tambang ilegal, proyek infrastruktur, transaksi saham lintas negara, hingga pembajakan undang-undang.

Simbol yang sering muncul adalah cahaya dan bayangan—lampu yang tak pernah mati di ruang kerja Ardi, tirai yang ditiup angin malam, atau hujan yang turun saat kejahatan akan terjadi. Semua itu bukan ornamen, tetapi metafora dari sistem kekuasaan yang bermain dalam remang, dan kebenaran yang kadang hanya menyala sebentar sebelum kembali padam.



V. Kekuatan, Kelemahan, dan Kontribusi Novel

Kekuatan:

  • Realisme yang menyentuh: meski fiksi, banyak bagian terasa seperti potret dokumenter Indonesia masa kini.

  • Dialog yang hidup dan reflektif: tidak hanya mendorong cerita, tapi juga mengajak berpikir.

  • Riset mendalam: terlihat dari detail teknis seputar saham, undang-undang, hingga struktur perusahaan cangkang.

Kelemahan:

  • Tempo yang agak lambat di awal: pembaca awam mungkin merasa cerita terlalu teoritik sebelum masuk konflik utama.

  • Minim sentuhan lokalitas spesifik: meski mengambil latar Indonesia, sebagian latar terasa terlalu generik, kurang menyentuh budaya atau lokalitas tertentu.

Kontribusi Sastra:

Korupsi dan Oligarki adalah contoh kuat bagaimana sastra bisa menjadi alat kritik struktural. Ia mengisi kekosongan yang sering ditinggalkan media atau kajian akademik—dengan menjadikan pembaca bagian dari narasi, bukan sekadar pengamat pasif.



VI. Penutup: Sebuah Seruan Diam yang Menggelegar

Novel ini bukan hanya cerita, melainkan seruan. Dalam dunia yang semakin bising oleh propaganda, Korupsi dan Oligarki menjadi suara tenang yang justru mengguncang. Ia menunjukkan bahwa kekuasaan selalu bisa digugat—asal ada yang mau menyuarakannya.

Bagi siapa pun yang peduli pada masa depan republik ini, membaca novel ini adalah langkah awal untuk memahami bahwa perubahan tak datang dari atas, tapi lahir dari keberanian yang disebarkan dari satu hati ke hati lainnya.


Rekomendasi:
5 dari 5 bintang ★★★★★
Wajib dibaca oleh aktivis, jurnalis, mahasiswa, dan siapa pun yang percaya bahwa sastra masih punya peran dalam menyelamatkan demokrasi.

0 Komentar